1.22.2010

Selembar Surat SK itu....

Sidoarjo, 22 januari 2009


Hari ini adalah hari spesial yg udh gw tunggu2 selama dua bulan.. Yup bener, dua bulan stelah gw liat daftar nama yang bikin jantung gw hampir copot, pengumuman yg bikin gw berhenti dr seorang jurnalis, pengumuman yg buat bonyok gw girang serta pengumuman yg ngerubah hidup gw..... Pengumuman kalo gw ditrima jadi pns.

Stlah dua bulan tanpa kepastian panggilan, tibalah saatnya gw dpt panggilan utk mengambil SK.. Satu lmbar kertas yg jadi jalan gw menuju masa depan lbh jelas..

***

Jumat, 22 Januari 2009.... Alarm hp nokia E71 yg gw beli dari kerja keras sbg jurnalis bunyi nyaring tepat pukul 4 dini hari... Meski mata ngantuk, gw coba sadarn gw.. Cuma sepuluh mnt persiapan (termasuk shlat tentunya), gw pnjem boil timor bokap buat brangkat sambil pake baju rapi plus spatu pantofel hitam mengkilat.. Uppss.. Gak lupa dua mie instan yg udh dilebur jadi satu buat bekal dibawa... Bersiap menuju sekolah perikanan Sidoarjo. ini kali keempat gw kesini. Soalnya, saat tes tulis, wawancara dan pemberkasan emang dilakuin di tmpat sini
''ini saat2 yg gw tggu buat karir gw jadi PNS,'' dlm hati gw. Stlah dua jam perjalanan, seperti yg biasa gw lakuin setiap ke sekolah dengan gaya setenga militer ini, gw selalu mampir ke pom bensin sekitar satu kilo dari lokasi. Di pom bensin ini, gw sempetin nyetor, alias buang hajat.. Preetttt... Sisa makanan sehari sebelumnya keluar ke lubang di bilik ukuran 3x3 meter dgn gayung warna merah muda yg agak bolong dikit. Abs itu, gw makan bekel yg udh disiapin dr rumah. ''ritual'' ini selalu gw lakuin sejak kali pertama kesini, tepatnya wktu tes tulis

***

jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi, seorang cwek, sebut aja namanya bunga, mulai keluar dari mobil karimun estillo warna biru, usai mencium perempuan berjilbab (menurut asumsi gw adalah ibunya) di kursi sebelahnya, bunga terlihat tergesa-gesa menuju balai yg berjarak 100 meter dr tmpat dia parkir... Caranya berlari mengalihkan perhatian gw yg sudah menunggu waktu masuk didepan pintu balai, selain karna dia terlambat, wajahnya memang menurut gw paling manis diantara 90 CPNS cewek2 yg hadir pagi itu.., rambut bergelombang, kulit putih dgn tinggi 163cm, tambah manis dgn baju hem putih dan rok hitam

gw sadar, sbagai seorang cowok yg sudah memiliki calon istri memang tidak pantas melihat cewek spt itu, tp kalau hanya melihat gw berfikir itu adalah sifat manusiawi...

namun, yg paling penting adalah bukan karena gw tertarik dengan perempuan ini, tapi senyumnya ngingetin gw sama perempuan spesial, yang gw harap jd pendamping gw selamanya. Ironisnya lagi, gw ama dia hars siap2 pisah smntara...


***

Deretan kursi di balai pun sudah, gw sama salah seorang temen satu angkatan yg jg beruntung jd CPNS memilih kursi di deretan belakang.. Seorang ibu2 berjilbab pun mulai membuka acara dan ngasi penjelasan ttg bagaimana jadi PNS. Selama pengarahan, satu panitia berkeliling membagikan map biru dengan tulisan nama didepannya.
Tiba giliran gw dapt map biru. Dgn buka pelan2, hal yg slama ini gak pernah dibayangin terjadi ama diri gw, selembar SK PNS dgn NIP (yg menurut gw lbh mirip nomor cantik) ada di tangan gw.
Inilah awal tantangan untuk karir hidup gw. Sekarang, tinggal menunggu 1 Februari, hari sejarah gw dimana gw mulai kerja jd abdi negara.....


Selengkapnya...

11.10.2009

Pasutri Perajin Sapu Serabut Kelapa Bertahan dari Persaingan Pasar








Sejak 1992 Hanya Bertahan dari Produk Pabrik

Di tangan orang-orang yang terampil, sesuatu yang dianggap tidak berguna, ternyata dapat diubah menjadi uang. Demikian yang dilakukan pasangan suami istri, Nuriyadi dan Sulasmani yang mampu membuat serabut kelapa menjadi bernilai ekonomis.

AIRLANGGA, Puri


KEDUA tangan Sulasmani, 37, tampak tekun menyulam helai demi helai serat kelapa yang ada di depannya. Kedua kaki yang diikatkan dengan helai serat membantunya membuat benang-benang serat agar tidak lemas. Kedua sorot matanya tampak serius memerhatikan serat kelapa.
Setiap harinya, pasangan suami istri ini memang menggantungkan hidupnya membuat sapu dari serabut kelapa di bangunan berukuran 4x6 meter persegi yang terbuat dari bambu. Bangunan semi permanen di sebelah rumahnya, Dusun Kalipatih, Desa Kebon Agung, Kecamatan Puri ini memang sengaja di gunakan untuk workshop produk buatannya.
Sabut kelapa adalah berkah pasangan suami istri Nuriyadi dan Sulasmini. Mereka memanfaatkan sabut kelapa untuk membuat kerajinan berupa sapu lantai dan keset. ’’Saya mulai membuat sapu dan keset dari sabut kelapa ini sejak masih sekolah dasar,’’ ungkap Nuriyadi, bapak tiga anak ini.
Dia mengakui, banyaknya masyarakat melihat sebelah mata hasil karya Nuriyadi. Masyarakat lebih menyukai produk dari sintetis atau buatan. Tapi itu tak menyurutkan keinginan berkarya pria berusia 44 tahun ini. ’’Saya sudah memulai usaha ini sejak turun temurun. Dan diteruskan lagi tahun 1992,’’ ujarnya.
Dibantu sang istri, ia tiap hari terus menghasilkan produk dari sabut kelapa. Ia punya pelanggan tetap yang mengakui kualitas sapu dan keset dari tangan Nuriyadi. ’’Walau tak banyak, tapi cukup untuk kami hidup,’’ katanya.
Pelanggan setia yang tetap memakai produk kerajinan sapu dan keset ini berasal dari luar Mojokerto seperti dari Gresik, Lamongan, Sidoarjo bahkan Surabaya. Terkadang, dia juga melayani pembeli dari dinas pendidikan di luar kota. Tiap tahun ajaran baru, permintaan sapu dan keset bisa mencapai 20 buah.
Selain itu, tiap harinya paling tidak ada pelanggan membeli langsung ke rumah untuk membeli sapu maupun keset. Setiap hari sapu yang terjual sekitar 15 buah.
Harga sebuah sapu sabut kelapa buatannya tergolong murah. Hanya Rp 1.500 untuk ukuran panjang dan Rp 1.300 ukuran sedang. Untuk membuat kerajinan tersebut dari sebuah sabut kelapa hingga menjadi produk jadi membutuhkan waktu yang tak singkat.
Pada awalnya, kelapa yang sudah tua dikupas sabut. Setelah itu menjadi direndam dalam air selama sehari. Setelah itu dipukul-pukul hingga setengah kering dan helai-helaian sabut terpisah dan kemudian dikeringkan sampai benar-benar kering. Baru kemudian sabut kelapa tersebut dibentuk menjadi sapu dan keset dengan cara menyulam.
Memperoleh serabut yang kualitasnya bagus, air untuk merendam harus selalu diganti. Ini demi serabut yang dihasilkan berwarna putih dan bersih. Usai direndam, serabut kembali dipukul-pukul agar seratnya lebih lembut. ’’Kalau pembuatannya sih mudah. Tiga hari saja kita mampu membuat seratus buah sapu dari 15 kilogram serabut yang sudah diproses. Proses mengeluarkan seratnya yang butuh waktu lama. Kalau bahan baku tidak ada, bisa-bisa kita menganggur,’’ imbuh Sulasmani.
Sulasmani dan suaminya mengaku dalam 10 hari bisa membuat seratus sapu. ’’Jadi kalau satu bulan ya bisa tiga ratus sapu,’’ ungkapnya. Setiap sapu yang dihasilkan, dia bisa mendapat keuntungan hingga Rp 1.150. ’’Keuntungan per bulan bisa dikalikan saja dengan tiga ratus,’’ ungkapnya tersenyum
Nuriyadi sudah menjalani profesinya tersebut selama bertahun-tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dia mengaku usahanya mulai seret. Dia mulai mengalami kesulitan untuk memperoleh serabut kelapa yang menjadi bahan baku utama usaha kerajinan yang digelutinya. Biasanya, dia mendapat bahan baku dari pasar Kota Mojokerto yang didapatnya secara gratis. ’’Tapi saya harus datang ke sana untuk mengambil sendiri,’’ ujarnya.
Dia mengatakan, sejak dulu warga di desanya tersebut memang dikenal sebagai perajin. Beberapa perlengkapan rumah tangga, seperti sapu, alat pel, dan anyaman bambu, adalah sebagian besar produk kerajinan yang dibuat warga dua desa tersebut. ’’Dibanding kerajinan lainnya, kerajinan dari kain perca tergolong baru,’’ tambahnya.
Nuryadi mengatakan, pembuatan sapu merupakan inovasi kerajinan dari serabut kelapa yang sebelumnya memang banyak dibuat warga desa itu. Serabut yang digunakan adalah dari kelapa tua, terutama dari sampah yang tidak terpakai. Sebelum muncul pembuatan kerajinan sapu, serabut itu dibakar oleh pedagang pasar atau dibiarkan terbengkalai, sehingga nilai ekonomisnya tidak ada.
Disamping itu, pemasaran produk buatannya mengalami kendala. Dia mengakui produk buatannya kalah dengan produk buatan sintetis. ’’Disamping itu, di dusun ini tidak ada kelompok perajin sehingga harganya tidak tentu. Ada yang murah dan ada yang sangat mahal,’’ terangnya.
Dikatakannya, delapan tahun lalu memang sempat ada paguyuban perajin sapu. Namun, baru berjalan beberapa bulan, paguyuban tersebut bubar. ’’Penyebabnya saya sendiri tidak tahu,’’ ungkapnya. Kini, pasangan suami istri yang memulai usaha sejak tahun 1992 ini berharap pemerintah dapat membantu kesulitan perajin seperti mereka.


Selengkapnya...

10.27.2009

Melihat Proses Pembuatan Gula Merah secara Tradisional di Desa Penompo, Kecamatan Jetis





Limbah Pabrik Dijadikan Pupuk, Sisa Tebu Dijadikan Bahan Bakar

Pembuatan gula merah yang dilakukan secara tradisional di Kabupaten Mojokerto nyaris tidak ada. Namun, bagi Mustofa, 75, usaha ini tetap dilakukan. Bahkan, usaha pembuatan gula merah dijadikan usaha keluarga.

AIRLANGGA, Jetis


PANAS terik matahari tidak menyurutkan dua pegawai pabrik tebu yang terletak di Desa Penompo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto mengaduk enam tungku berdiameter satu meter. Keringat terus membasahi tubuh Suryanto.
Kedua tangannya begitu lihai menggerakkan sebuah kayu berukuran panjang satu meter. Dengan teliti, satu persatu dari enam wajan yang berada di dalam pabrik diaduk secara bergantian.
Panas yang dihasilkan tungku tidak menghalangi semangat Suryanto mengaduk gula merah setengah jadi ini. ’’Untuk menghasilkan gula merah yang memiliki kualitas bagus, pengadukan memang harus lama,’’ ujar pria yang sudah bekerja selama empat tahun ini.
Selama Suryanto mengaduk, Udin, teman kerjanya ikut membantu memasukkan sisa-sisa daun tebu yang kering kedalam tungku agar api pembakar terus menyala. Kedua matanya terus melihat ke dalam tungku untuk memastikan apakah api tetap membara atau mati.
Menurut salah satu putra Mustofa, pemilik pabrik gula merah bernama Muhammad Shoim, proses pembuatan gula merah ini paling tidak membutuhkan waktu antara satu hingga dua jam untuk setiap kali pembakaran.
’’Setelah pembakaran, terus diisi lagi dengan air tebu melalui selang. Selang ini terhubung dengan mesin penggiling tebu,’’ ujar pria berusia 28 tahun ini.
Gula merah buatan Shoim diproses secara sederhana. Tanaman tebu yang telah matang atau berumur sekitar 14 bulan dikepras dari akarnya dan dibersihkan dari daun-daun kering. Proses ini dilakukan di didepan pabriknya.
Tebu kemudian dibawa ke tempat pengolahan, lalu digiling menggunakan mesin untuk mengeluarkan air gulanya. Untuk menghasilkan kadar gula yang maksimal, Shoim terkadang memantau langsung proses pembuatan gulanya. Dengan dua mesin miliknya, tebu-tebu tersebut digiling selama beberapa jam.
Air tebu dengan kadar gula yang tinggi itu selanjutnya dimasak di tungku sampai air gula mengental dan berwarna coklat kemerah-merahan. Selama proses pemasakan di tungku, gula harus terus-menerus diaduk secara manual menggunakan tenaga manusia agar matang merata dan tidak gosong.
Untuk memasak gula, Shoim menggunakan bahan bakar daun tebu yang telah kering. Bahan bakar daun tebu tersebut dimasukkan secara periodik di dalam tungku berukuran 30 cm x 30 cm.
Setelah masak, gula merah dimasukkan ke dalam bak berukuran besar berukuran 100 cm x 60 cm. Setelah dingin gula merah diaduk kembali dan siap dikirim.
Tidak ada bahan campuran lain yang ditambahkan Shoim ke dalam gula merah produksinya. ’’Kami tidak memakai pewarna ataupun bahan pengawet karena itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Justru dengan menjaga kemurnian kualitas gula, gula merah produksi kami bisa tahan selama setahun,’’ ujarnya.
Karena tidak memakai pewarna itu pula gula merah yang diproduksi Shoim tidak berwarna merah seperti gula merah yang dijual di pasar tradisional. Gula buatan Shoim justru berwarna cokelat kemerah-merahan.
Shoim mengatakan, pabrik yang dikelolanya bersama dua kakaknya ini sangat ramah lingkungan. Limbah pabrik berupa abu dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman untuk lahan tebu miliknya. ’’Sebagian lagi dijual kepada masyarakat sekitar dengan harga murah,’’ ujar anak ke sembilan dari sebelas bersaudara ini.
Shoim mengungkapkan, meski saat ini banyak usaha pembuatan gula merah dengan mesin-mesin lebih modern, namun dia tetap bertahan dengan cara tradisional. Menurutnya, hasil gula yang diproduksinya lebih memiliki kualitas. ’’Saat ini di kecamatan Jetis hanya ini saja usaha pembuatan gula merah. Kemungkinan juga di Kabupaten Mojokerto, karena seingat saya usaha seperti di Gondang sudah tutup,’’ terangnya.
Usaha yang dilakukannya ini sudah dijalani selama lima tahun. Bersama dua kakaknya yakni Nurul dan Nurhadi, Shoim berusaha mempertahankan usaha milik ayahnya ini. ’’Saat ini tidak ada kendala apapun dalam menjalankan usaha pembuatan gula merah. Bahan baku sudah ada ladang sendiri, kalau tidak cukup membeli dari masyarakat sekitar,’’ terangnya yang enggan menyebutkan jumlah produksinya. Hasil gula merah yang diproduksinya ini dijual dalam bentuk utuh tanpa dicetak ke Tulungagung.


Selengkapnya...

10.26.2009

Saat Warga Lebak Jabung Kesulitan Air Bersih




Terpaksa Manfaatkan Sungai Kotor Bekas Penggalian Sirtu

Musim kemarau rupanya selalu menjadi bencana bagi warga Dusun Lebakgeneng, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo. Selain sumur kering, satu-satunya sungai yang bisa diharapkan menyuplai air, justru dirusak penambang sirtu liar.

AIRLANGGA, Jatirejo

SEJUMLAH warga di Dusun Lebakgeneng, Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, saat ini terpaksa memanfaatkan sungai kotor akibat penambangan sirtu untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK). Kondisi ini terjadi akibat musim kemarau berkepanjangan di mana sumur yang biasa dipergunakan sudah kering kerontang.
Kesulitan mendapatkan air bersih dirasakan warga setempat sejak satu tahun terakhir atau sejak memasuki musim kemarau tahun ini. Tak sedikit di antara warga yang terpaksa mencari sumber air bersih dari wilayah lainnya, meski menempuh jarak yang jauh.
Bahkan, saking sulitnya mendapatkan air bersih, tak sedikit pula masyarakat yang memanfaatkan air kotor MCK.
Akibatnya, tak jarang ada sejumlah warga yang mengaku menderita gatal-gatal setelah memanfaatkan air berwarna cokelat tersebut.
Seperti diungkapkan Yayah, 50 tahun, warga setempat. Yayah mengaku terpaksa menggunakan air sungai yang tidak jernih, saking sulitnya mendapatkan sumber air bersih. Sulitnya masyarakat mendapatkan air bersih, membuat mereka tak lagi memikirkan dampak yang ditimbulkan dengan memanfaatkan air kotor tersebut.
’’Kami sangat kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Ya, terpaksa kami memanfaatkan sungai ini untuk keperluan sehari-hari,’’ kata Yayah.
Kondisi itu menjadi pemandangan biasa sehari-hari di wilayah tersebut. Selain memanfaatkan air sungai yang kotor, sebagian warga juga memanfaatkan air dari limbah perumahan. ’’Ya, kami bingung mesti bagaimana lagi. Daripada kami kekurangan air, mendingan memanfaatkan air yang ada, meskipun keadaannya kotor dan tak layak digunakan,’’imbuh dia.
Bahkan, banyak diantara warga rela berjalan jauh ke desa lain untuk mendapatkan air bersih. Untuk mengambil air bersih, warga rela berjalan menempuh jarak dua hingga tiga kilometer dari rumahnya. ’’Sumur yang kami miliki dan biasa dipergunakan untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus, sudah tidak berair lagi,’’ kata dia.
Warga juga sebenarnya sudah berusaha melapor ke pemerintah dan polisi tentang masalah yang mereka hadapi. Namun, rupanya laporan tersebut tidak pernah dianggap. ’’Kami sudah sabar selama satu tahun, tapi tetap tidak ada tindak lanjutnya,’’ terang Paino, 45, warga sekitar.
Dia mengungkapkan, selama ini warga Dusun Lebak Geneng memang mengandalkan air dari Sungai Selomalang untuk kegiatan sehari-hari mereka. ’’Kalau mengandalkan air sumur tidak mungkin, karena susah mendapat air sumur di daerah ini,’’ujarnya. Dia mengatakan, saat musim kemarau saat ini, air menjadi lebih keruh dari biasanya.
Warga menganggap, keruhnya air Sungai Selomalang yang menjadi andalan warga diakibatkan adanya aktivitas penambangan sirtu liar. Sumardiono, 50, mengatakan aktivitas ini telah berlangsung selama satu tahun.
’’Selama setahun itu kami terpaksa mengandalkan air yang sudah keruh, padahal sebenarnya air jernih kalau tidak ada kegiatan penambangan,’’ ungkapnya. ’’Gara-gara penambangan ini, air di desa menjadi keruh. Kami terus mau minum apa?’’ keluh Sumardiono.
Bahkan, beberapa waktu lalu, warga juga terpaksa menutup paksa aktivitas penambangan sirtu milik pengusaha asal Surabaya tersebut. Warga rela menempuh perjalanan hanya untuk menyampaikan aspirasinya kepada para penambang sirtu.
Untuk menuju lokasi yang berjarak sekitar 6 kilometer dari jalan raya itu, butuh perjuangan yang tak enteng. Tak jarang, truk yang mengangkut warga itu harus menyeberangi sungai tanpa jembatan. Apalagi kondisi jalan yang memang terjal. Ditambah lokasi Sungai Selomalang yang berada di wilayah ketinggian di atas bukit.
Tiba di lokasi penambangan, hanya perasaan miris yang muncul. Sebuah sungai berukuran besar itu, ’’ditumbuhi’’ truk-truk pengangkut batu dan mesin ekskavator. Alat-alat berat itu bahkan mampu membelah sungai hingga menjadi jalan yang bisa dilalui truk.
Lebih parah lagi, sebuah tanggul sungai juga menjadi korban kepentingan sesaat para penambang. Tanggul berukuran besar itu dipecah demi membuat jalan truk yang mengangkut hasil tambang di lokasi ini.
Aktivitas pengerukan sirtu, pemecahan batu dan lalu-lalang truk itu tentu saja membuat dampak buruk bagi lingkungan. Air sungai yang mulanya jernih, kini berubah menjadi cokelat pekat. Padahal, ribuan warga Desa Lebakjabung berharap banyak dari kejernihan sungai ini untuk kepentingan air minum, memasak dan mencuci.
Suyit, salah satu warga lainnya mengungkapkan, sejak awal musim kemarau tahun ini, warga memang bersabar meski air sungai yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari itu berwarna keruh penuh dengan lumpur. Namun semakin hari, kondisi air semakin memburuk lantaran eksploitasi di Sungai Selomalang semakin menggila.
Aksi nekat ini juga dilakukan agar aktivitas penambangan ilegal di lokasi itu bisa berhenti. Karena jika mengandalkan polisi dan satpol PP, selalu saja menemui jalan buntu. Juga lantaran kondisi warga yang sudah tak tahan lagi meminum air keruh setiap harinya. ’’Dari sungai itulah kebutuhan air kami dipenuhi. Semua sumur di sini sudah kering,’’ tuka Paino.
Rupanya, alasan warga menutup paksa lokasi penambangan sirtu liar ini bukan omong kosong. Selan dua jam sejak tiga alat berat dan puluhan truk hengkang dari lokasi penambangan, kondisi air Sungai Selomalang berangsur-angsur jernih. ’’Kita mengharapkan agar tidak ada lagi aktivitas penambangan sirtu seperti ini lagi,’’ ujar Surdi, warga lainnya. (*)
Selengkapnya...

Melihat Kerupuk ’’Memble’’ Khas Mojokerto yang Sempat Terpuruk

Dikerjakan Satu Keluarga, Menggeliat usai Vakum 10 Tahun


Usaha kerupuk ’’Memble’’ yang digarap pasangan suami istri Lamisan-Nasinah sempat berjaya pada tahun 1990-an. Bahkan dikenal khas Kabupaten Mojokerto. Namun diserang krisis, usahanya bangkrut. Nah, kini, berupaya bangkit lagi dari tidurnya.

AIRLANGGA, Mojokerto


RUMAH dengan tembok berwarna putih yang berada di Desa Penompo, Kecamatan Jetis siang kemarin terasa sepi. Tidak ada aktivitas terlihat dari luar rumah. Hanya sebuah papan bertuliskan nama usaha penjual kerupuk bertengger di depan.
Sebuah papan terbuat dari anyaman bambu terpasang didepan rumah sebagai alas menjemur ratusan kerupuk yang masih basah.
Di samping rumah, sebuah ruangan berukuran 6x6 meter terlihat aktivitas. Canda tawa anak-anak kecil terdengar dari luar rumah. Di depan pintu ruangan yang banyak tersimpan karung-karung tepung terigu itu, Iva dan dua saudaranya tampak tekun meletakkan bahan setengah jadi kerupuk yang baru direbus.
Sesekali bocah perempuan berusia delapan tahun ini bercanda dengan kakaknya, Saifun dan sepupunya Maarif. Ketiganya sangat terampil membentuk kerupuk-kerupuk yang masih basah tersebut dan meletakkannya diatas nampan terbuat dari bambu.
’’Ya begini ini aktivitas sehari-hari di rumah kami. Sehari-hari memang usaha ini dikerjakan oleh keluarga,’’ ujar Lamisan sambil mempersilakan masuk koran ini. Usaha yang dikerjakan satu keluarga ini memang diakui Lamisan sebagai usaha andalan mereka.
Sudah empat bulan ini bapak sembilan anak memulai usahanya sejak mengalami bangkrut 10 tahun lalu. ’’Dulu saya memulai usaha ini pada tahun 1989, awalnya memang tidak besar. Ya kecil-kecil dulu,’’ ungkapnya.
Lamisan tidak perlu belajar secara khusus untuk memproduksi kerupuk dengan rasa gurih ini. Pria berperawakan kurus ini mengaku belajar secara otodidak melalui teman-temannya.
’’Di tempat saya tidak ada yang memproduksi kerupuk. Kebanyakan warga sini bekerja sebagai buruh pabrik, petani dan pedagang,’’ ungkapnya.
Keberaniannya memulai usaha membuat kerupuk ini langsung didukung oleh istrinya. Keduanya bahu-membahu belajar membuat kerupuk yang berbeda dari kerupuk yang dijual selama ini.
Setelah melalui proses panjang dan berbagai percobaan, akhirnya pasangan suami istri ini ’’menciptakan’’ kerupuk baru dengan rasa yang lebih gurih. Bak putaran roda, setelah sepuluh tahun memulai usahanya, Lamisan mengalami kegagalan.
Harga bahan yang mahal serta krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1999 memaksa usahanya gulung tikar. Beberapa karyawan yang sudah lama mengabdi pun mulai meninggalkan dia untuk mencari pekerjaan baru.
Namun setelah sepuluh tahun mengalami vakum, pasangan ini mulai memiliki keberanian memulai usahanya seperti dulu. Berbekal modal seadanya serta ruangan sebelah rumah yang sebelumnya tidak terpakai, Lamisan mulai membangun kebangkitan usahanya seperti dulu kala.
Beruntung seluruh keluarganya mendukung. Tidak hanya dukungan moril, anak-anaknya pun turut membantu tenaga. Secara bergantian, keluarga besarnya ikut membantu membuat kerupuk yang dinamakan kerupuk ’’memble’’ ini.
Lamisan sendiri tidak tahu kenapa kerupuk yang dibuatnya dinamakan kerupuk ’’memble’’.
’’Awalnya pembeli yang menanyakan apa ada kerupuk memble, ternyata itu kerupuk saya. Jadi yang memberi nama itu pembeli bukan saya,’’ ungkapnya. Selain itu, para pembeli pernah memberitahu kalau kerupuknya seperti lidah yang menjulur. ’’Makanya diberi nama memble,’’ ungkapnya.
Kerupuk yang diproduksinya ini memang tidak beda dengan kerupuk lain jika dilihat secara sekilas. ’’Tapi rasanya lebih gurih dan tidak keras,’’ ujarnya. Dengan menggunakan bahan-bahan seperti tepung terigu dan tepung kanji serta ditambah bumbu-bumbu seperti bawang putih, Lamisan mampu mengolah menjadi kerupuk dengan rasa khas.
’’Ada teknik sendiri saat menggoreng. Kalau orang lain pasti hasilnya keras terutama dibagian tengah kerupuk karena tidak punya tekniknya,’’ ungkapnya.
Selain karena kegigihannya, Lamisan juga ikut LSM yang bergerak dibidang usaha kecil. Berkat bantuan LSM Kumbo Karno yang diikutinya, Lamisan mendapat pelatihan dan mengetahui bagaimana mengembangkan bisnis kerupuknya.
Meski baru empat bulan menjalankan usahanya, pemasaran yang dilakukan Lasiman dibilang cukup maju. Kerupuk yang diproduksinya mampu mencapai Kabupaten Sidoarjo, Pasuruan dan seluruh Kabupaten dan Kota Mojokerto. ’’Biasanya ada sales yang datang kesini ambil kerupuk, tapi sebagian saya pasarkan sendiri. Kebanyakan di pasar-pasar,’’ ungkapnya.
Meski demikian, usaha yang digelutinya ini tidak lepas dari berbagai kendala. Saat ini, kendala utama yang dihadapinya adalah modal. Lamisan sendiri mengaku ingin usahanya menjadi besar.
Namun karena kurang modal, usahanya kini hanya terkesan jalan ditempat. ’’Keuntungannya masih belum banyak,’’ ungkap Nasinah, menimpali suaminya. Dia berharap. Pemerintah bersedia memberikan pinjaman lunak kepada usaha-usaha kecil seperti dirinya. ’’Kalau bisa tidak ada bunganya,’’ ungkap Nasinah.

Selengkapnya...